Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok, Polemik Marginal di Masa Pandemi
Kita semua sudah tahu kalau kebutuhan pokok (lebih spesifik lagi sembako) merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, apabila tidak dipenuhi maka kehidupannya akan terganggu. Mau tidak mau kebutuhan pokok harus menjadi prioritas utama dalam alokasi pengeluaran rumah tangga. Terlebih sekarang kita sedang bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19 ini. Berbagai sektor ikut terimbas akibatnya pertumbuhan ekonomi pun menjadi terhambat.
Namun bagi beberapa orang ada satu hal yang menjadi salah satu saingan dari pengeluaran kebutuhan pokok, yaitu rokok. Rokok sebagaimana yang kita ketahui juga seharusnya bukan kebutuhan primer. Namun pada beberapa kondisi ternyata jumlah pengeluaran untuk membeli rokok nilainya hampir sama dengan pengeluaran kebutuhan pokok keluarga. Tentu hal ini kemudian harus ditelaah dan dikondisikan karena kalau terus dibiarkan bisa menurunkan kualitas kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Data dan Fakta
Data Perokok Pria di Indonesia |
Hampir sekitar 7 dari 10 laki-laki diatas umur 15 tahun adalah perokok, berdasarkan infografis dari situs The Tobacco Atlas. Ini adalah data pada tahun 2015, entah sampai sekarang sudah berapa. Rasanya mungkin akan semakin meningkat setiap tahunnya. Data dari situs yang sama juga menunjukkan bahwa sekitar 3% anak dengan usia sekitar 10-15 tahun adalah perokok. Karena rokok sudah sangat mudah sekali untuk didapatkan di warung-warung sekitar kita. Harga satu batangnya saja bisa lebih murah dibanding air minum kemasan. Silahkan dicek sendiri kalau ingin membuktikan.
Merokok juga identik sebagai pelengkap setelah makan. Cukup banyak orang yang saya kenal punya kebiasaan sebat setelah menyantap makan berat. Belum lagi jika berkumpul dengan teman-teman di tempat tongkrongan, wah pasti sangat sulit bagi mereka untuk tidak menyulut dan menghisap rokok bersama.
Saya sendiri bukan perokok dan akan tetap bangga menjadi bagian dari 3 orang yang menjadi minoritas. Alhamdulillah memang saya dilahirkan pada keluarga yang tidak merokok, cukup beruntung menjadi orang yang tidak tertarik sama sekali dengan rokok. Kalau dibilang pernah mencoba jujur saya juga pernah, tetapi dari pengalaman itu saya tidak merasakan kenikmatan apapun dari merokok. Jadi sampai detik ini beruntung sekali saya tidak berkeinginan untuk menjadi seorang perokok.
Dari data tersebut diatas terlihat bahwa merokok sudah menjadi budaya bagi mayoritas orang di Indonesia. Meskipun begitu sebenarnya sudah banyak beberapa strategi ataupun kebijakan yang berusaha untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membatasi pengiklanan rokok.
Bisa diketahui juga kalau pemasaran / pengiklanan rokok itu tidak terlalu banyak muncul di permukaan, tetapi masyarakat masih banyak yang merokok. Penempelan gambar seram penyakit akibat rokok pada kemasan rasanya tidak efektif untuk kampanye berhenti merokok. Para perokok mungkin malah semakin abai dengan potensi bahaya kesehatan tersebut karena menganggap efeknya masih belum terasa alias masih sehat-sehat aja.
Malah sebaliknya, saya setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Nurul Nadia Luntungan, peneliti di CISDI, bahwa iklan rokok yang tayang di televisi itu umumnya punya konsep yang keren. Bahkan mereka sama sekali tidak memperlihatkan produknya sama sekali di iklan tersebut. Saya sendiri dulu sewaktu kecil cukup amazed ketika melihat iklan rokok walaupun harus menunggu hingga jam 10 malam, hanya untuk sekadar menonton iklan. Karena memang sebagus itu iklan mereka, iklan produk-produk umum lain menurut saya kalah jauh dari segi kualitas iklannya.
Lantas mengapa program kampanye seperti itu seakan tidak ter-notice sama sekali oleh para targetnya?
Karena lingkungan di Indonesia sudah terlanjur menganggap normal perilaku merokok ini. Akhirnya hal ini semakin mendarah daging membuat orang menjadi sulit lepas karena kolega-kolega disekitarnya masih menyulut dan menghisap rokok mereka.
Concern Utama antara Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok
Saat ini kita bersama sedang menghadapi pandemi Covid-19 ini. Merebaknya kasus di seluruh Indonesia menyebabkan beberapa daerah harus menerapkan kebijakan lockdown atau lebih dikenal sebagai PSBB. Hal ini sangat berdampak kepada semua sektor. Pergerakan masyarakat dibatasi untuk mencegah penyebaran virus sehingga banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan pekerja mereka karena kinerja perusahaan yang mandek. Banyak orang yang kehilangan mata pencaharian sehari-hari mereka. Alhasil pemenuhan kebutuhan pokok keluarga pun menjadi terancam sulit untuk terpenuhi.
Lalu mengapa rokok bisa-bisanya sampai dibandingkan dengan kebutuhan pokok? Simak dulu data berikut ini.
Data yang saya lampirkan dari BPS ini menunjukkan Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang pada tahun 2018. Dan yang saya highlight khusus pada Kelompok Barang Makanan. Bisa dilihat rata-rata persentase alokasi untuk setiap jenisnya. Dan memang benar kalau pengeluaran untuk barang Tembakau dan Sirih (saya asumsikan disini rokok = produk olahan dari tembakau) maka nampak bahwa kebutuhan rokok menempati urutan kedua dari jumlah alokasi pengeluaran untuk jenis kelompok makanan. Jadi dari sini sudah semakin jelas kalau memang pengeluaran untuk membeli rokok bisa jadi lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk keperluan bahan pokok lainnya.
Menyikapi hal tersebut, seharusnya ini bisa menjadi faktor pendorong yang kuat terutama bagi para perokok untuk mulai berhenti merokok. Pengeluaran yang sebelumnya ikut terpakai untuk membeli rokok bisa dialihkan untuk membeli bahan pokok keluarga. Dengan begitu, pemenuhan gizi dan kesehatan keluarga menjadi lebih terjamin sehingga kondisi keluarga bisa menjadi lebih sejahtera.
Upaya dan Kampanye
Maka dari itu diperlukan suatu langkah khusus untuk bisa menurunkan atau sampai menghilangkan budaya merokok. Nah pada Talk Show Ruang Publik - Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok, dihadirkan salah satu narasumber yang merupakan dedengkot di Kampung Bebas Asap Rokok. Beliau adalah Bapak Nur Kasim yang merupakan Ketua RT 1 RW 3 di daerah Cililitan, Jakarta.
Sumber: Tangkapan layar pribadi |
Beliau menceritakan sekilas bagaimana awal mula digagasnya program Kampung Bebas Asap Rokok yang baru launching beberapa waktu yang lalu. Dan yang menarik bagi saya adalah dari segi metodenya. Cara kampanye yang diterapkan untuk mengurangi asap rokok pada kampung tersebut saya rasa cukup sederhana, yaitu dengan memasang spanduk-spanduk himbauan untuk tidak merokok serta menegur orang yang merokok di teras rumahnya. Hal semacam ini menurut beliau cukup efektif untuk bisa menurunkan konsumsi rokok. Yang awalnya bisa habis satu bungkus per hari bisa turun jadi hanya beberapa batang saja, sampai pada akhirnya bisa berhenti tidak merokok sama sekali secara bertahap.
Artinya disini lingkungan menjadi faktor pendorong yang sangat kuat untuk bisa menekan perilaku merokok. Tahap demi tahap para perokok ini bisa mengurangi konsumsi rokok. Dan yang paling utama adalah mengalihkan uang yang sebelumnya digunakan untuk beli rokok menjadi alokasi uang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Menurut Pak Nur hal itu merupakan sesuatu yang positif. Warganya yang berhasil mengurangi konsumsi rokok menjadi lebih sejahtera, bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan membeli keperluan-keperluan lain yang jauh lebih berguna dibandingkan rokok.
Walaupun saya bukan perokok dan juga belum berkeluarga. Tetapi saya rasa pada kondisi pada masa pandemi seperti sekarang ini, akan jauh lebih bijak apabila “Asap yang mengepul itu berasal dari dapur ketimbang asap yang mengepul dari hisapan sebatang rokok yang menyala”. Artinya disini kebutuhan pokok haruslah menjadi prioritas yang utama, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Andai kata kalau uang rokok anda kemudian dialihkan untuk keperluan primer seperti membeli kebutuhan pokok, maka bukan tidak mungkin keuangan keluarga anda akan terasa lebih dari cukup. Keluarga menjadi lebih sejahtera dan terjaga kualitas kesehatannya.
Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
0 Comments:
Posting Komentar